Sabtu, 24 Oktober 2009

Keberadaan Kawasan Hutan Terancam

Penataan ruang berasaskan pada pemanfaatan ruang bagi semua kepentingan secara terpadu, berdaya guna dan berhasil guna, serasi, selaras, seimbang dan berkesinambungan. Dengan asas demikian sebenarnya penataan ruang telah memperhatikan, mempertimbangkan, dan mengakomodasi berbagai kepentingan pada masing-masing sektor dalam pembangunan wilayah di Indonesia. Oleh karena itu kawasan hutan yang telah ditunjuk dan ditetapkan oleh Pemerintah, seharusnya keberadaannya dihormati oleh semua pihak, mesti pada kenyataannya tidaklah demikian.
Dalam peraturan perundangan kehutanan keinginan sektor lain untuk memanfaatkan kawasan hutan bagi pembangunan non kehutanan, telah diatur sedemikian rupa, sesuai dengan asas-asas umum berkenaan dengan pengaturan ruang kehutanan. Namun diakui pengaturan ruang kehutanan bagi kepentingan lain diatur sangat ketat, banyak prosedur yang harus ditempuh. Hal ini wajar untuk diatur karena keberadaan sumberdaya hutan sangat vital yaitu sebagai sistem penyangga kehidupan.
Ketatnya prosedur pengaturan ruang kehutanan dan perpaduan banyak faktor antara lain:euforia otonomi daerah, tingginya tuntutan pembangunan ekonomi, minimnya ruang gerak untuk ekstensifikasi lahan, telah memunculkan “hasrat” yang sangat tinggi untuk melakukan review atau penyempurnaan terhadap tata ruang khususnya dengan merubah wilayah yang tadinya diperuntukkan bagi kawasan hutan, dengan menggunakan celah seperti yang telah diatur dalam UU Penataan Ruang, yaitu bahwa rencana tata ruang dapat ditinjau kembali dan atau disempurnakan sesuai jenis perencanaannya secara berkala dengan tetap menghormati hak dimiliki oleh setiap orang. Review inilah yang apabila tidak dipertimbangkan dan diperhitungkan dengan hati-hati akan mengancam eksistensi dan keberadaan kawasan hutan.
Faktor otonomi daerah merupakan pembuka peluang untuk melakukan review tata ruang yang tidak optimal. Otonomi daerah telah memberi kesempatan kepada daerah untuk melakukan pembangunan di wilayahnya sesuai dengan karakteristik masing-masing, serta berlandaskan pada arah dan kebijakan daerah dengan tujuan untuk mencapai kemajuan di wilayahnya. Namun otonomi daerah ini dibanyak tempat disalah artikan sebagai semacam kebebasan mengekspresikan keinginan daerah untuk termasuk memaksakan penetapan atau perubahan tata ruang dengan tidak memperhatikan peraturan perundangan lainnya.
Tingginya tuntutan ekonomi telah dijadikan salah satu dasar pertimbangan lainnya, sebagai alasan pembenaran untuk ikut mendukung keinginan merubah tata ruang.
Mengingat bahwa ruang yang terbesar adalah kawasan hutan, maka yang banyak menjadi sasaran untuk dirubah tata ruangnya adalah kawasan hutan.
Disinilah “konflik” itu terjadi, review/perubahan tata ruang dipergunakan oleh daerah untuk merubah atau mengkonversi ruang kehutanan menjadi non kehutanan tanpa melalui prosedur perubahan seperti yang telah diatur dalam peraturan perundangan kehutanan.
Review dipergunakan sebagi pembenaran untuk menghindari ketatnya prosedur pengaturan ruang kehutanan. Apalagi bila review tersebut telah menjadi kesepakatan banyak pihak di daerah termasuk dengan lembaga legislatif.
Di sisi lain Departemen Kehutanan sebagai instansi pemerintah yang diberi tugas penguasaan dan tanggung jawab terhadap kawasan hutan tentu akan mengajukan argumen-argumen yuridis, ekologis, sosial dan ekonomi, bahwa walaupun perubahan itu diperlukan, namun tetap harus melalui prosedur pengaturan ruang kehutanan yang berlaku. Bisa dicontohkan antara lain bahwa merubah kawasan hutan produksi (HP) menjadi kawasan non kehutanan untuk perkebunan atau pertanian harus mengikuti ketentuan prosedur perubahan peruntukan kawasan hutan melalui pelepasan kawasan hutan yang prosedur dan persyararatannya sangat ketat.
Sehingga tidak dapat dihindarikan “tarik ulur” akan terjadi, Kehutanan akan dianggap sebagi pengahambat pembangunan dan pengembangan wilayah. Apalagi akhir-akhir ini sudah tidak dapat lagi diandalkan sebagai sumber pendapatan ekonomi untuk pembangunan wilayah, termasuk makin terdegradasinya kawasan-kawasan hutan yang ada. Bahkan pembangunan kehutanan telah dianggap sebagai “cost center”.
Di sisi lain, minimnya ketersediaan “data base” kawasan hutan termasuk sejarah perkembangan kawasan hutan di Departemen Kehutanan menjadi titik lemah Departemen kehutanan dalam upaya mempertahankan keberadaan kawasan hutan yang tersisa dari tekanan-tekanan sektor lain untuk merubah tata ruang kehutanan.
Beberapa contoh yang sedang berproses:
1. Konsep review RTRWP Kalimantan Timur, dalan konsep review tersebut antara lain: a) akan dilakukan pembukaan jalan di kawasan konservasi (TN Kayan Mentarang) dengan tujuan untuk membuka isolasi daerah, b) beberapa perubahan kawasan budidaya kehutanan (KBK) menjadi kawasan budidaya non kehutanan (KBNK) yang tidak mengikuti prosedur perubahan peruntukan kawasan hutan yang ada.
2.Penyusunan RTRW Kabupaten yang tidak memperhatikan RTRW Provinsi yang notabene telah mengakomodir kawasan-kawasan hutan yang ada (al: Beberap Kabupaten di Provinsi Sumatera Selatan).
Secara institusional diperlukan segera rancangan langkah-langkah antisipasi permasalahan penataan ruang kehutanan serta implementasinya, karena penataan ruang merupakan proses dinamis yang terus berkembang. Beberapa langkah yang dapat disarankan antara lain:
1. Menata “data base” kawasan hutan, sehingga kawasan hutan dapat teridentifikasi dengan jelas fungsi dan statusnya, permasalahan dan perkembangan penanganannya.
2. Aparat kehutanan Pusat dan Daerah (UPT maupun Dinas Kehutanan) harus berinisiatif untuk selalu terlibat dalam pengaturan ruang di daerah.
3. Mencari terobosan-terobosan dan inovasi hukum, untuk mencari solusi terbaik untuk semua pihak (“win-win solution”)
4.Meningkatkan pengelolaan hutan di kawasan tersebut untuk memberikan bukti bahwa sektor kehutanan dengan kawasan hutannya bisa memberikan kontribusi bagi pembangunan dan pengembangan wilayah
5.Terus meningkatkan sosialisasi akan pentingnya hutan sebagai penyangga kehidupan.ยต
*Perencana Madya Pada Pusat Rencana dan Statistik Kehutanan, Badan Planologi Kehutanan, Dephut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar